News

Menakar Keamanan Makanan

Makanan dengan bahan tambahan berbahaya semakin mengepung, terutama yang sering makan di luar rumah.

beritadaerah.comAnda suka kerupuk berwarna oranye yang menjadi pelengkap ketoprak, gado-gado, atau nasi goreng di kaki lima? Rasanya memang gurih di lidah. Namun, amankah untuk dikonsumsi?

Warna oranye menyala pada kerupuk tersebut berasal bukan dari pewarna makanan. Pabrik kerupuk meneteskan pewarna tekstil untuk mendapatkan warna yang menarik macam itu. “Tentunya, ini berbahaya bagi kesehatan,” kata Prof Dr Ir Purwiyatno Hariyadi MSc.

Kerupuk itu hanyalah satu contoh makanan yang memakai bahan tambahan berbahaya dalam pembuatannya. Kendati dapat terlihat dengan kasat mata, upaya penghentian penggunaannya belum serius benar dilakukan pemerintah. “Semestinya ada upaya pembinaan industri agar mulai beralih ke bahan pewarna makanan,” ujar Purwiyatno seusai konferensi pers Pusat Informasi Industri Makanan dan Minuman, beberapa waktu lalu (18/10) di Jakarta.

Ironisnya, makanan dengan bahan tambahan berbahaya justru semakin mengepung masyarakat. Terutama mereka yang sering makan di luar rumah. “Pemakaian boraks dan formalin pada bakso dan tahu, contohnya,” kata direktur Southeast Asian Food and Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Center ini.

Yang praktis
Mengenali bakso berbahan pengawet berbahaya ternyata mudah saja. Mari cermati sifat bakso yang menggunakan daging sapi sebagai bahan bakunya. “Agar tahan lama, bakso semestinya dimasukkan ke dalam lemari pendingin,” urai Purwiyatno.

 

Bakso bisa cepat rusak dalam suhu luar ruang. Apalagi, terpapar sinar matahari. “Pembuat bakso tentu tidak mungkin membawa lemari pendingin di gerobaknya,” celetuk peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.

Baik boraks maupun formalin sebetulnya tidak termasuk bahan tambahan pangan. Tentu pengaruhnya bagi kesehatan yang menjadi pertimbangan. “Terhadap tubuh, keduanya bersifat karsinogen, pencetus kanker,” kata Purwiyatno.

Di Amerika Serikat, boraks dan formalin sudah dilarang pemakaiannya pada bahan pangan pada awal tahun 1900. Namun, di Indonesia baru sekitar 80 tahun kemudian dinyatakan sebagai bahan berbahaya. “Juga termasuk bahan berbahaya, dulsin serta asam salisilat dan garamnya,” timpal Deputi III Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Roy Sparingga.

Bahan tambahan pangan diperbolehkan dipakai jika sudah dikaji keamanannya oleh organisasi internasional Joint Experts Committee on Food Additives. Bahan tersebut diuji coba pada hewan dan ditentukan berapa batas aman konsumsi hariannya (ADI). “Lalu, diadakan pengawasan pascaproduksi untuk melihat reaksinya pada manusia,” urai Purwiyatno.

Ketersediaan bahan tambahan pangan membawa keuntungan tersendiri bagi masyarakat. Terlebih, belakangan masyarakat yang tak punya banyak waktu untuk mengolah bahan makanan. “Produk pangan yang praktis lebih disukai,” ucap Purwiyatno.

Namun, konsumen perlu selalu berusaha mengembangkan perilaku hidup sehat. Termasuk perilaku makan sehat dengan menu pangan yang sehat. “Sebaiknya konsumsilah aneka ragam jenis pangan dan jangan berlebih-lebihan terhadap salah satu jenis produk pangan,” saran Purwiyatno yang bertugas di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB.

Di luar persoalan bahan tambahan pangan, Purwiyatno mengingatkan perlunya kewaspadaan warga. Terlebih, kasus yang terkait bahan tambahan pangan terbilang lebih kecil. “Masalah yang ditimbulkan dari kebersihan jauh lebih rumit.” ed: nina chairani

Yang Ini, Aman …
Apa sebetulnya bahan tambahan pangan? Ini adalah bahan yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau karakteristik pangan. “Baik yang mempunyai atau tidak memiliki nilai gizi,” urai Deputi III Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Roy Sparingga.

Bahan tambahan pangan terkadang diperlukan untuk banyak kepentingan. Seperti untuk menjaga cita rasa dan sifat produk pangan secara keseluruhan. “Misalnya, pengawet mempertahankan mutu produk pangan dari mikroba yang dapat membuat produk berjamur atau busuk,” imbuh Prof Dr Ir Purwiyatno Hariyadi MSc, ahli teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor.

Bahan tambahan makanan yang diizinkan digunakan pada makanan terdiri atas 11 golongan. Berikut daftarnya.

1. Antioksidan (Antioxidant)
2. Antikempal (Anticaking Agent)
3. Pengatur Keasaman (Acidity Regulator)
4. Pemanis Buatan (Artificial Sweetener)
5. Pemutih dan Pematang Tepung (Flour Treatment Agent)
6. Pengemulsi, Pemantap, Pengental (Emulsifier, Stabilizer, Thickener)
7. Pengawet (Preservative)
8. Pengeras (Firming Agent)
9. Pewarna (Colour)
10. Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa (Flavour, Flavour Enhancer)
11. Sekuestran (Sequestrant), yakni bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion logam yang ada dalam makanan.

MSG
Vetsin. Itulah nama lain monosodium glutamat (MSG). Oleh BPOM Amerika Serikat (FDA), MSG telah lama dikategorikan aman. “Sejak tahun 1958, MSG masuk dalam kelompok generally recognize as safe (GRAS),” ungkap Prof Dr Ir Purwiyatno Hariyadi MSc.

Bagaimana dengan di Indonesia? Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun 1988 menyebutkan MSG tergolong bahan tambahan pangan penguat rasa yang diizinkan. Batas maksimum penggunaan vetsin tidak ditentukan secara spesifik. “Secukupnya atau sewajarnya saja sesuai dengan tujuan penggunaannya,” jelas Guru Besar Rekayasa Proses Pangan IPB ini.

Kendati aman, bukan berarti MSG tidak punya pengaruhnya pada tubuh. Sejumlah orang dapat merasakan efek pusing, leher dan dada terasa panas, atau sesak napas setelah mengonsumsi makanan berpenguat rasa tersebut. “Beberapa individu memang ada yang sensitif terhadap MSG,” komentar Roy.

MSG, lanjut Roy, diposisikan sama seperti gula dan garam dalam masakan. Batasan pemberiannya bersifat individual. “Tidak ada patokan berapa jumlah yang dianggap aman untuk dikonsumsi setiap hari tanpa adanya pengaruh negatif terhadap kesehatan.”

Seputar Mi Instan
Kasus yang mempersoalkan keamanan produk mi instan buatan Indonesia hingga kini masih menyisakan kehebohan di masyarakat. Apalagi, Pemerintah Korea menyatakan ada bahan tambahan pangan yang terkandung di dalam kecap pelengkap bumbu mi masak cepat itu. Sedangkan, Pemerintah Indonesia resmi menyatakan tak ada yang keliru dengan standar Badan Pengawasan Obat dan Makanan.

Lantas, sebetulnya, amankah nipagin yang menjadi pengawet kecap mi instan tersebut? Prof Dr Ir Purwiyatno Hariyadi MSc mengiyakan. “Ini adalah bahan tambahan pangan yang jamak dipakai di berbagai negara.”

Studi jangka panjang memperlihatkan tidak adanya gangguan kesehatan pada masyarakat yang mengonsumsi produk pangan dengan nipagin sebagai pengawet. Berpijak pada hasil riset tersebut, Amerika Serikat mengategorikan nipagin sebagai bahan yang terbilang aman untuk digunakan (generally recognized as safe, GRAS). “Boleh dikonsumsi dengan batasan yang ditentukan sendiri oleh konsumen,” tutur ahli teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.

Kendati demikian, BPOM tetap memberi anjuran batas konsumsi harian dari nipagin. Porsinya hanya boleh di bawah 10/kg berat badan/mg/hari. “Standar BPOM untuk kecap 250 mg per kilogram berat badan,” jelas Deputi III BPOM, Roy Sparingga.

Dengan standar seperti itu, produk pangan yang diawetkan dengan nipagin tersebut dinilai aman. Namun, betulkah keberadaan nipagin berbahaya bagi anak-anak? “Mereka tentu lebih rentan,” kata Roy menegaskan.

Lalu, seberapa banyak masyarakat boleh mengonsumsi mi instan dalam setiap pekan? Roy menjelaskannya dengan mengingatkan pentingnya mencukupi asupan gizi seimbang. “Upayakan agar keluarga mendapatkan makanan yang beragam demi keseimbangan gizi.” (Reiny Dwinanda). Sumber

error: Content is protected !!