Perwakilan SEAFAST Center menghadiri pertemuan MASSI yang dilanjutkan dengan acara Halal bi Halal yang diselenggarakan pada hari Rabu 4 Juli 2018 di ruang sidang CENTRAS, Kampus IPB Baranang siang, Bogor. Agenda dari pertemuan tersebut mencangkup persiapan simposium SAGO ASEAN 2018 di Pekan Baru, persiapan International Sago Symposium 2019 di Papua, kelanjutan Jurnal Metroxylon Indonesia dan pergantian bendahara MASSI.
Acara yang dihadiri oleh delegasi dari Pekanbaru, Papua dan juga berbagai praktisi dan pihak swasta dan pemerintah yang berkecimpung di dunia Sagu Indonesia ini dipimpin oleh Prof. Bintoro selaku ketua MASSI. Dalam rapat ini dibahas strategi pengembangan sagu dan kopi di Papua yang mencangkup identifikasi kawasan dan jenis sagu, pembenahan sistem dan regulasi, pengembangan sumberdaya manusia, pembangunan model percontohan hulu-hilir di beberapa kampung dengan pendekatan optimalisasi dan ekstensifikasi lahan, pembentukan kelembagaan agribisnis dan komunitas pecinta sagu dan kopi, pembangunan infrastruktur pendukung dan gudang logistik, manajemen IT untuk promosi dan pemasaran, pengembangan pusat riset dan inovasi teknologi sagu dan kopi.
Hal menarik dari pertemuan ini adalah tanggapan dan masukan terhadap masalah yang dihadapi oleh pihak pemerintah, swasta dan akademisi. Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan RI berencana mengadakan Gelar Pangan Nusantara sebagai program diversifikasi pangan. Sagu menjadi fokus BKP selain singkong dan ubi kayu. Acara ini dapat menjadi kesempatan promosi produk olahan sagu yang mengundang perwakilan berbagai daerah penghasil sagu.
Adapun masalah yang dihadapi pihak swasta disampaikan oleh Pak Bona Pasaribu dari PT Sampoerna Agro yaitu tingginya biaya produksi dibandingkan harga jualnya menjadi kendala tersendiri. Meskipun sagu telah menjadi produk pangan strategis, dukungan dari pemerintah pusat belum dirasakan. Untuk ke depan, para pemangku kebijakan diharapkan lebih membantu dalam upaya pengembangan sagu sebagai sumber pangan strategis nasional.
Pak Widyanto dari PT ANJAP menekankan bahwa sagu adalah the best organic carbohydrate dan Indonesia merupakan negara dengan areal sagu terluas di dunia. Perusahaannya berhasil mengekspor sagu ke Malaysia dan Jepang. Beliau juga menggarisbawahi kemungkinan menjual sagu dicampur dengan beras dengan komposisi 1:1 sebagai kwetiau basah, termasuk untuk ekspor, menjadi lebih menguntungkan dibanding menjual sagu atau beras saja. Beliau juga menjelaskan perbedaan pati sagu Riau dan Papua, terutama dari segi kekentalan. Alasan yang dikemukakan mengapa sagu di Riau lebih berkembang dibanding Papua antara lain adalah pengolah sagu komersial di Riau telah berkecimpung lama, dari beberapa generasi lebih dahulu dibanding Papua. Tanaman sagu di Papua kurang mendapat cahaya matahari dan tertutup tanaman lain yang sudah tua dan tinggi. Di Riau, kemampuan bertahan tanaman sagu lebih baik dibandingkan sawit, bahkan di tanah gambut sekalipun. Beliau juga menyampaikan bahwa tanaman pinang yang biasa ditanam bersama sagu memiliki potensi besar untuk diekspor ke Bangladesh.
Pak Laurent Suryadarma dari PT ANJAP yang mengembangkan produksi di Papua Barat menyampaikan pentingnya konsumsi sagu terutama di daerah penghasil sagu sendiri karena penjualan ke luar daerah lebih mahal harganya. Kendala yang dihadapi adalah kurangnya industri lokal yang menyerap produk sagu. Konsumen lokal juga kurang menyukai tepung sagu dengan alasan tidak seperti tepung tapioca serta harga tepung sagu yang terkadang lebih mahal dari tapioka.
Pak Laduani Ladamay yang menjadi Kepala Penelitian dan Pengembangan Provinsi Papua mengajukan upaya koordinasi dengan pemerintah pusat, pembentukan pengurus MASSI di tingkat daerah, mendorong penataan hutan sagu, mempromosikan sagu sebagai makanan sehat organik, sumber energi terbarukan, kosmetik dan pakan ternak, menggunakan sagu dalam hidangan-hidangan kenegaraan, pesta, rapat maupun sajian kuliner di hotel dan restoran.
Pak Marshall Suebu dari komunitas penggiat sagu Papua meminta dukungan untuk peringatan hari sagu di tingkat Papua, nasional dan internasional. Melihat luasnya hutan sagu yang belum dibuka di Papua, dukungan untuk program pengelolaan hutan sagu serta upaya penanaman sejuta pohon sagu dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan juga diperlukan.
Dalam acara ini juga Prof. Bintoro meminta untuk pengarsipan pengetahuan mengenai sagu dalam bentuk buku dan jurnal terutama Jurnal Metroxylon agar dapat dimanfaatkan oleh generasi penerus di masa mendatang. Kontributor diharapkan dari berbagai pihak dan tidak hanya didominasi oleh akademisi dari Institut Pertanian Bogor. (YSU dan MAN)