Pertemuan Jejaring Inteligen Pangan telah diselenggarakan Badan POM pada tanggal 18 Maret 2016 dengan tema “Resistensi Antimikroba dari Perspektif Keamanan Pangan” di Hotel Grand Mercure Jakarta. Pertemuan turut dihadiri oleh sektor terkait meliputi kementerian pertanian, kementrian kelautan dan perikanan, perguruan tinggi, organisasi profesi, dan Badan POM. Allia Laksmi Nurdini, SSi., MSi, Peneliti bidang mikrobiologi pangan sebagai perwakilan dari SEAFAST Center LPPM IPB turut hadir dalam acara ini. Selain itu delegasi otoritas keamanan pangan Bangladesh dan perwakilan FAO juga hadir pada pertemuan ini. Pertemuan dibuka oleh Drs. Halim Nababan (Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan) dan disambut oleh Drs. Suratmono, MP (Direktur Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya). Acara dipandu oleh moderator Prof. Dr. Ir. Winiati P Rahayu (Institut Pertanian Bogor).
Sesi pertama disajikan oleh Drs. Halim Nababan dengan judul Flashback of Food Intelligence Network (FIN). Sesi ini mengenalkan jejaring intelijen pangan terhadap instansi terkait. Forum yang dikepalai oleh Direktur Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM ini memiliki program Indonesian Risk Assessment Center for Food Safety (INARAC) dengan salah satu misinya menfasilitasi komunikasi antar stakeholder mengenai isu yang ada seperti resistensi antimikroba belum banyak dibahas di Indonesia.
Narasumber kedua, Dr. Diana E. Waturangi (Fakultas Teknobiologi Universitas Atmajaya) menyajikan pemaparan Antimicrobial Resistance from Food Safety Perspective. Riset yang dilakukan oleh Universitas Atmajaya ini telah mendeteksi adanya Vibrio cholera yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik dan berpotensi virulence yang diisolasi dari es batu dan jajanan anak sekolah. Sebelumnya juga dipaparkan mekanisme resistensi antimikroba. Gen resistensi antimikroba dapat ditransportasikan dalam waktu singkat ke bakteri yang tidak resisten karena gen tersebut ada pada material DNA yang dapat ditransportasikan (integron). Mekanisme ini secara alami sudah ada di alam, tetapi diperparah oleh penggunaan antibiotik yang misuse dan overuse dan dapat mengakibatkan terbentuknya superbug.
Sesi selanjutnya dipaparkan oleh Prof. Wiku Adisasmito, DVM, MSC, Phd (Universitas Indonesia) berjudul Adressing Antimicrobial Resistance Melalui One Health Approach. Emerging disease yang disebabkan oleh resistensi antimikroba disebabkan oleh gap yang besar antara perkembangan resistensi antimikroba dan penemuan antibiotik baru. Di Indonesia masalah resistensi antimikroba ini cukup kompleks mengingat sangat berpengaruh terhadap industri unggas yang bernilai 400 trilyun rupiah. One health merupakan strategi untuk mengembangkan kerjasama dan komunikasi multidisiplin dalam hal ini untuk merespon resistensi anti mikroba. Pada level internasional, organisasi terkait sedang bekerjasama untuk isu resistensi antimikroba ini yaitu WHO (bidang kesehatan), FAO (bidang pangan) dan OIR (bidang kesehatan hewan).
Narasumber terakhir, dr. Anis Karuniawati, SpMK memaparkan Permasalahan Resisten Antimikroba Ditinjau dari Perspektif Klinis. Di Indonesia telah ada data yang menunjukkan kecenderungan sifat resistensi terhadap berbagai antimikroba pada isolat klinis Campylobacter jejuni dan N. gonorhoea. Saat ini penggunaan antibiotik di Indonesia kurang tepat dan hampir 80% rumah tangga di Indonesia menyimpan antibiotik.
Kemudian pertemuan dilanjutkan dengan sesi diskusi diikuti dengan antusias oleh stakeholder terkait dan juga diisi oleh masukan dan tanya-jawab oleh perwakilan FAO, otoritas keamanan pangan Bangladesh, CIVAS, Persatuan Dokter Hewan Indonesia serta narasumber. Akhir acara ditutup dengan kesimpulan bahwa strategi dan permasalahan resistensi antimikroba telah diketahui kemudian diperlukan tindak lanjut dan pelaksanaan dari strategi yang telah didesain. (ALN)