OPINI : REGULASI ETO PADA PANGAN

Belakangan ini, isu keamanan pangan kembali mencuat di Indonesia, ketika diberitakan terjadi penarikan produk Indonesia dari pasar internasional karena diduga mengandung residu etilen oksida (EtO).

                        Guru Besar Teknologi Pangan IPB Purwiyatno Hariyadi dan Senior Scientist SEAFAST Center IPB

Bisnis, JAKARTA — Belakangan ini, isu keamanan pangan kembali mencuat di Indonesia, ketika diberitakan terjadi penarikan produk Indonesia dari pasar internasional karena diduga mengandung residu etilen oksida (EtO). Sebetulnya, kejadian itu tidak terisolasi, tetapi merupakan bagian dari insiden global penarikan produk pangan dari pasar internasional yang mulai terjadi sejak September 2020.

Saat itu, Belgia menyampaikan melalui Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) di Uni Eropa (UE) tentang ditemukannya EtO yang melebihi batas maksimum residu (BMR) pada biji wijen dari India. Karena biji wijen digunakan sebagai bahan untuk banyak produk, maka berdampak luas pada rantai pasokan pangan UE. Sejak itu, pengujian di UE diintensifkan dan menyebabkan penarikan banyak produk pangan terkait EtO.

EtO adalah gas beracun dengan rumus C2H4O yang membunuh sebagian besar mikroba, termasuk spora bakteri. Karenanya, EtO digunakan untuk fumigasi/sterilisasi hasil pertanian, misalnya rempah-rempah. Kegunaan utama­nya saat ini adalah untuk ste­rilisasi perangkat medis sam­­pai sekarang, termasuk di UE.

Menurut Environmental Protection Agency (EPA) di AS, EtO digunakan pada sekitar 50 persen proses sterilisasi perangkat medis, setiap tahunnya, termasuk sekitar 95 persen dari semua peralatan bedah.

EtO diketahui bersifat karsinogenik sehingga penggunaannya diatur ketat. Pada bidang pangan penggunaan EtO perlahan mulai dilarang secara legal di UE sejak 1991. Tetapi, di Kanada, AS, India, Singapura, dan Filipina penggunaan pada bidang pangan saat ini masih diizinkan.

Namun, regulasi UE mendefinisikan residu EtO sebagai jumlah EtO dan 2-CE yang terdeteksi. Hal ini problematis karena beberapa alasan. Pertama, definisi residu EtO ini menganggap semua 2-CE yang terdeteksi berasal dan terkait dengan keberadaan EtO. Ada beberapa keraguan tentang anggapan ini, karena 2-CE dapat saja berasal dari sumber-sumber selain dari degradasi EtO. Jadi, 2-CE tidak selalu sebagai penanda adanya EtO. Keraguan ini a.l didukung oleh hasil analisis yang sering menunjukkan adanya 2-CE saja, tetapi tidak EtO.

Kedua, penjumlahan EtO dan 2-CE juga menganggap bahwa kedua senyawa tersebut mempunyai profil toksikologi yang sama. Terdapat publikasi yang menyatakan bahwa toksisitas 2-CE ini tidak sama dengan EtO, di mana 2-CE lebih tidak toksik daripada EtO.

Kondisi di Indonesia

Di Indonesia sendiri, penggunaan EtO sebagai bahan aktif fumigan sudah dilarang (Permentan 43, 2019). Tetapi, untuk sterilisasi alat kesehatan masih diperbolehkan (Permenkes 14, 2021). Dengan demikian, keberadaan EtO masih dijumpai di Indonesia, yang dapat berpotensi menjadi cemaran. Karena EtO dilarang digunakan untuk pertanian dan pangan, maka BPOM juga mensyaratkan BMR EtO yang sangat rendah, sama dengan atau bahkan lebih rendah dari EU, yaitu 0.01 ppm.

Jika sama, kenapa produk dari Indonesia masih terkena penolakan di pasar internasional? Hal ini disebabkan perbedaan definisi residu dan penilaian tentang profil toksikologi antara EtO dan 2-CE, seperti dijelaskan di atas.

Sebagaimana AS dan Kanada, Indonesia meyakini bahwa 2-CE tidak selalu harus berasal dari EtO dan lebih tidak toksik daripada EtO. Karena alasan itu, BMR untuk 2-CE mestinya lebih tinggi daripada BMR untuk EtO. Alasan ini telah digunakan oleh AS dan Kanada. Indonesia, BPOM, juga menetapkan BMR untuk 2-CE lebih tinggi, yaitu 85 ppm, dengan pemahaman bahwa toksisitas 2-CE tidak seperti toksisitas EtO. Penetapan ini tentu telah melalui kajian, sebagaimana tertuang pada Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida, 2,6-Diisopropilnaftalena dan 9,10-Antrakinon.

Kejadian (dan kebingungan) ini mungkin tidak akan terjadi jika terdapat standar internasional residu EtO (dan atau 2-CE). Sayangnya, sampai saat ini (standar Codex) tentang residu EtO (dan atau 2-CE) ini belum ada.

Karena itu, langkah pemerintah Indonesia membawa kasus ini ke Codex sudah sangat tepat dan perlu diapresiasi. Dalam sidang Codex Committee on Contaminants in Foods (CCCF) pada 18 April hingga 21 April 2023 yang lalu, Indonesia (BPOM) telah mengusulkan supaya penetapan BMR EtO (dan atau 2-CE) masuk ke dalam daftar prioritas bahan yang perlu dikaji oleh Codex. Indonesia menyatakan bahwa kasus EtO dan 2-CE saat ini telah membuat gangguan pada perdagangan pangan internasional.

Usulan Indonesia ini telah dibahas, namun ditunda untuk dipertimbangkan pada CCCF berikutnya, sambil meminta masukan dari komite Codex lainnya, apakah EtO perlu dikaji sebagai kontaminan atau sebagai residu pestisida. Mengingat kondisi pertanian dan pangan yang ada, Indonesia menginginkan bahwa EtO perlu dikaji sebagai kontaminan. Tentu usulan ini perlu diperjuangkan, supaya status keamanan pangan terkait dengan EtO dan 2-CE ini menjadi jelas dan memberikan kepastian hukum internasional bagi praktik bisnis pangan dan ketenangan bagi masyarakat konsumen.

Editor: Yanita Petriella

Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
Scroll to Top