News

Tahu Berpewarna Tekstil Disita

tahu kuning

Petugas dari beberapa instansi di Kota Bogor menyita ratusan tahu berpewarna tekstil, 5 kilogram usus ayam berformalin, dan 6,5 kilogram ayam hampir busuk di dua pasar tradisional di Kota Bogor, Rabu (3/7). Tanpa upaya pengamanan pangan yang memadai, temuan semacam ini masih akan terus terjadi.

’’Temuan ini hasil inspeksi mendadak, bekerja sama dengan instansi pertanian, peternakan, dan satuan polisi pamong praja di Pasar Bogor dan Pasar Anyar. Temuan itu kami sita untuk dimusnahkan,” ujar Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor Mangahit Sinaga.

Mengonsumsi makanan berpewarna tekstil berpotensi merusak kesehatan karena pewarna itu akan mengendap dalam tubuh.

Tangan penjual kuning

Sekitar 200 tahu berpewarna tekstil disita dari Fi (35), seorang pedagang di Pasar Anyar. Petugas memeriksa tangan penjual yang kuning pekat dan wama sisa tahu itu tidak bisa hilang saat dibasuh air. Setelah diperiksa, ia mengakui mencampur tahu putih dengan pewarna tekstil sebelum dijual dengan harga Rp 400 per tahu. Hari itu, ia sudah menjual sekitar 200 tahu sebelum diketahui petugas.

Fi mengaku kepada petugas bahwa alasan dirinya mewarnai tahu dengan pewarna tekstil agar tahu yang dijualnya bisa bertahan lebih lama. Tanpa pewarna, tahu hanya bisa bertahan sehari. Sementara jika diberi pewarna, bisa bertahan 2-3 hari. Dia mengaku baru sekali itu menggunakan pewarna tekstil.

’’Kami tak percaya pengakuannya begitu saja. Dia kami masukkan dalam daftar pengawasan sehingga jika sekali lagi ketahuan berbuat yang sama, akan direkomendasikan tak boleh berjualan lagi di pasar,” kata Mangahit.

Menurut Mangahit, selama setahun terakhir, sudah ada 50 pedagang di kedua pasar itu yang ketahuan menjual bahan pangan berbahaya, seperti mi berformalin dan tahu menggunakan pewarna pakaian atau berformalin.

Beberapa produsen yang memasok mi ke pedagang itu sudah dihentikan operasionalnya oleh petugas.

Guru Besar Rekayasa Proses Pangan institut Pertanian Bogor Purwiyatno Hariyadi menilai, model penindakan saja tidak akan menyelesaikan persoalan penggunaan bahan tambahan berbahaya untuk pangan.

Menurut dia, pemerintah harus menyentuh akar persoalan, yakni pemberdayaan pasar tradisional dan pedagang serta pengamanan infrastruktur keamanan pangan.

Untuk menekan penggunaan pewarna dan pengawet berbahaya untuk pangan, kata dia, seharusnya di pasar tradisional disediakan fasilitas pendingin untuk daging. Selain itu, harus ada air bersih yang cukup dan sanitasi lingkungan yang memadai.

Di sentra pembuatan pangan skala kecil, seperti pembuatan tahu dan kerupuk, pemerintah harus membantu menyediakan bahan pengawet atau pewarna makanan yang aman.

Namun, bahan tambahan itu harus tersedia dengan harga terjangkau sehingga perlu ada subsidi. Tanpa itu, pedagang atau produsen kecil akan mencari bahan yang murah dan mudah walaupun berbahaya

Daya saing bangsa

Menurut Purwiyatno, hal itu layak dilakukan karena bisa menjadi investasi jangka panjang terkait dengan daya saing bangsa Ini karena penggunaan bahan pangan berbahaya dalam jangka panjang bisa merusak kesehatan.

’’Saya melihat hal itu belum banyak disentuh. Persoalan pewarna tekstil atau pengawet kayu untuk makanan sudah mencuat sejak 20 tahun lalu ketika saya masih mahasiswa. Sekarang, hal ini juga masih menjadi persoalan,” katanya

Harga tinggi

Sementara itu, dari pantauan di Pasar Anyar, harga ayam potong relatif stabil tinggi di kisaran Rp 38.000-Rp 40.000 per kilogram. Hal yang sama juga terjadi pada daging sapi yang dijual Rp 95.000 per kilogram.

Menurut Narmi (38), pedagang ayam di Pasar Anyar, dalam dua hari terakhir harga ayam sedikit turun, Rp 1.000 per kilogram. Namun, harga itu bisa sewaktu-waktu naik

’’Tergantung pasokan. Hari ini saya bisa dapat 50 kilogram. Dua hari lalu hanya 40 kilogram. Padahal, biasanya 60-70 kilogram,” ujarnya.

Di Kota Bogor, berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan, harga daging ayam dan daging sapi termasuk yang tertinggi.

Lebih tinggi daripada 2012

Kenaikan harga 45 jenis produk yang dipantau di Kota Bogor mencapai 8 persen. Padahal, menjelang bulan Ramadhan tahun lalu, kata Mangahit, kenaikan harga rata-rata masih 4 persen.

’’Kalau kenaikan harga rata-rata sudah menyentuh 10 persen, kami akan usulkan operasi pasar untuk beras. Selain itu, kami juga merencanakan menyelenggarakan pasar murah untuk sejumlah komoditas,” ujar Mangahit. (Sumber: Kompas (4/7/2013)

error: Content is protected !!